Sabtu, 19 Mei 2012

Arah pendidikan dan kebijakan politik pendidikan



ARAH PENDIDIKAN AGAMA PADA SEKOLAH UMUM
SEJAK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL NO. 2 TAHUN 1989 SAMPAI SEKARANG
(Tinjauan Kebijakan Politik Pendidikan)
Oleh : Ibnu Haldun, MA

A.    Pendahuluan
Keberadaan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum secara konstitusi sebenarnya telah ada pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini dapat diperhatikan dari keberadaan regulasi undang-undang yang pernah ada. Dimulai dari Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1950, Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1954 dan Undang-Undang sistem pendidikan nasional No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003 hingga sekarang.
Regulasi perundang-undangan pendidikan agama dan keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, telah membawa pembaharuan yang signifikan pada tatanan tujuan pendidikan Islam di negara ini, sehingga berdampak pada pengertian paradigma baru pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional yang berimplikasi pada perkembangan lembaga (institusi), kurikulum (mata pelajaran), tujuan, nilai (value), pendidikan itu sendiri berdasarkan Standar Pendidikan Nasional (SPN).
Sejak diundangkannya UU No. 2 Tahun 1989, kemudian ditindak lanjuti dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) yang meliputi: PP No. 28 Tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah kemudian setelah ditetapkannya tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 2 Tahun 1989 (UUSPN), maka kedudukan pendidikan agama Islam semakin kuat keberadaannya di sekolah-sekolah umum.[1] Hal tersebut dapat diketahui pada Bab IX Pasal 39, ayat 2, tentang isi kurikulum. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan wajib memuat:[2] a) Pendidikan Pancasila, b) Pendidikan Agama, c) Pendidikan Kewarganegaraan.
Juga dengan lahirnya UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab X Pasal 37 ayat
1, tentang kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat:[3]
a.       Pendidikan agama
b.      Bahasa
c.       Ilmu Pengetahuan Alam
d.      Seni dan Budaya
e.       Keterampilan/kejujuran
f.       Pendidikan Kewarganegaraan
g.      Matematika
h.      Ilmu Pengetahuan Sosial
i.        Pendidikan Jasmani dan Olah Raga
j.        Muatan Lokal

B.     Pembahasan
a.      Pengertian dan Permasalahan Pendidikan Agama Pada Sekolah Umum
Pendidikan agama di sekolah umum dapat didefenisikan sebagai usaha yang secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini dibedakan dari pengajaran agama yang dianggap hanya pemberian pengetahuan (kognitif) agama kepada anak, agar supaya mereka mempunyai ilmu pengetahuan agama yang baik. Pendidikan agama tersebut, dimaksudkan untuk membangun aspek keimanan dan ketaqwaan sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang.[4]
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS. Poerwadarininto) diterangkan tentang arti sekolah sebagai:
a.       Sebuah bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi pelajaran
b.      Sebuah tempat pertemuan, dimana peserta didik belajar
c.       Sebuah tempat usaha untuk menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan)

Dari beberapa buku-buku referensi tentang teori pendidikan dijelaskan bahwa sekolah adalah salah satu tripusat pendidikan di samping lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, walaupun ketiganya mempunyai fungsi yang berbeda-beda dari segi teknisnya.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa sekolah umum adalah pendidikan formal (Pasal 13 Sisdiknas) yang meliputi jalur pendidikan berjenjang dan berstruktur yang terdiri atas pendidikan dasas, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, serta mengacu pada standar nasional pendidikan yang terdiri dari isi pendidikan (kurikulum), jumlah dan kualifikasi pendidik serta tenaga kependidikan, sarana dan prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran, manajemen dan proses pendidikan, serta sumber pembiayaan sekurang-kurangnya untuk satu tahun akademik berikutnya.
Sejak peraturan perundang-undangan Indonesia mewajibkan materi pendidikan agama diajarkan, selama itu pula telah diatur di sana mengenai agama apa dan untuk siapa, akan tetapai seringkali pendidikan agama tersebut diberikan secara mismatch (salah letak). Misalnya, siswa non muslim di sekolah umum diberi pelajaran agama Islam. Demikian pula peserta didik muslim di sekolah non muslim diberikan materi pembelajaran agama yang tidak sesuai dengan agama yang dianutnya. Praktek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dimulai tidak proporsional, juga telah menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (permurtadan siswa-siswa). Walaupun sebenarnya hal ini telah diataur didalam undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab V Pasal 12, ayat 1 (a) yaitu: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”[6]
Selain itu, tujuan pendidikan agama juga dipertanyakan? Artinya masyarakat mengharapkan agar pendidikan agama selain mengajarkan ibadah, juga diharapkan dapat membangun moral peserta didik. Belakangan ini banyak orang beranggapan bahwa pendidikan agama telah diberikan secara tidak profesional yaitu melaksanakan ibadah saja, tanpa mau membangun karakter budi pekerti (moral), sampai-sampai ada yang menyarankan agar pendidikan agama didekatkan pada masalah moralitas saja, sedangkan masalah ibadah lebih baik diserahkan kepada keluarga saja. Pendapat yang lain menganggap masalah moralitas ini bermuara pada masalah pendidikan agama yang tidak diberikan secara optimal, yang disebabkan oleh karena pendidikan agama tidak pernah diberikan secara serius melalui kecocokan antara pendidik agama dan peserta didik. Jika sudah diberikan secara proporsional, artinya pendidikan agama diberikan secara serius, kejadiannya mungkin akan berbeda.
Sebenarnya kalau dicermati lebih teliti, tentang alibi kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience) dan moralitas, maka jawabannya adalah lebih disebabkan oleh faktor pendidikan agama yang diajarkan mismatch (tidak cocok antara agama pendidik dan peserta didik), walaupun ini hanyalah merupakan salah satu penyebab lemahnya pendidikan agama bagi peserta didik. Ada faktor-faktor lain yang juga sebenarnya turut serta menjadi penyebabnya.
Dibeberapa sekolah yang pendidikan agamanya sudah diberikan secara proporsional antara agama pendidik dan agama peserta didik, kelemahan-kelemahan pendidikan agama yang sama tetap saja menghantui. Faktor-faktor kelemahan utama lainnya adalah soal keterbatasan waktu dan metode pembelajarannya.[7]
Bagaimana mungkin pembe1ajaran agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu dapat menanamkan keimanan yang kuat dan budi pekerti yang baik kepada diri seorang peserta didik, sementara lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat yang dihadapinya sangat berbeda bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat agama yang diterimanya sewaktu berada di sekolahnya, apalagi jika guru pendidikan agama tidak menjelaskan mengapa disparitas suasana dan ajaran demikian berbeda (dan kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).
Dalam kondisi demikian, sikap yang akan diambil oleh peserta didik akan beraneka ragam, misalnya:
1.      Peserta didik akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh ajaran agama berlawanan dengan lingkungannya
2.      Peserta didik akan menjalankan ajaran agama tetapi secara bercampur baur. Misalnya melakukan shalat tetapi juga mencuri, berjudi, dan lain-lain
3.      Peserta didik akan mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali, karena ia kalah dengan lingkungannya. Yang terakhir ini mengikuti pembelajaran pendidikan agama hanya sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki corak kehidupannya sama sekali.[8]

Terlepas dari berbagai kelemahan pendidikan agama di sekolah umum, banyak penyelenggara sekolah umum akhirnya melekatkan suasana sekolah menjadi wahana terpadu pembelajaran agama. Kemunculan sistem sekolah Islam, misalnya SD Islam, SMP Islam atau SMA Islam terpadu serta Pondok Pesantren Modern, merupakan terapi pengembangan pendidikan agama agar kelemahan yang biasa terjadi bisa diatasi. Slogan yang dipampang bermacam ragam, ada yang 30% agama 70% umum, atau sebaliknya. Ada yang masing-masing 50% pendidikan umum dan 50% pendidikan agama atau 100% pendidikan umum dan agama. Dengan kemunculan kecenderungan baru pendidikan Islam semacam ini, masalah pendidikan agama di sekolah umum relatif sudah bisa diselesaikan sebagian.
Siapapun sebenarnya bisa menerka bahwa, dengan hanya mengandalkan 2 jam pembelajaran, kiranya masalah pendidikan agama mungkin kondisinya tidak akan jauh berbeda, oleh karena itu juga para pendidik agama harus mulai mencari solusi dan terapi untuk prospek pendidikan agama di masa depan, diantaranya adalah dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui:
1.      Belajar ilmu agama di rumah, baik oleh orang tua atau memanggil guru ngaji
2.      Bersekolah negeri sambil menjadi santri di pondok pesantren

Solusi dan terapi penyempurnaan ini bersifat bebas, artinya tidak semua orang tua menyadari betapa pentingnya melakukan hal ini. Banyak sekali yang tidak melakukannya, baik karena tidak menyadari, tidak peduli ataupun tidak mampu dari segi finansial. Persoalan yang bampir sama dihadapi oleh siswa di sekolah negeri adalah yang bersekolah di yayasan-yayasan dengan lambang agama lain. Nasib mereka sedikit tertolong oleh pasal 12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas, dimana mereka akan mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya dan diajarkan oleh guru yang seagama.[9]

b.      Kedudukan dan Implementasi Undang-undang Sisdiknas Terhadap Model Pendidikan Agama Pada Sekolah Umum (UU No. 2 Tahun 1989, UU No.20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun 2007)
Setelah keluarnya peraturan perundang-undangan No. 2 Tahun 1989 Pasal 39 Ayat 2, tentang kewajiban memberikan mata pelajaran agama pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan (pendidikan pancasila, pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan). Kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Pasal 12 Ayat 1 (a) “Setiap Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan sesuai oleh pendidik yang seagama.” Serta peraturan pemerintah (PP) No. 28, 29 tahun 1990 tentang pendidikan dasar dan menengah. Maka kedudukan pendidikan agama di sekolah umum dan sekolah bercirikan Islam semakin kuat di Indonesia.[10]
Dalam operasionalnya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum diatur oleh keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional. Di sekolah-sekolah umum negeri pada tingkat dasar dan menengah, pendidikan agama dilaksanakan dua jam pelajaran setiap minggunya, adapun sekolah-sekolah umum yang bercirikan agama dan sekolah-sekolah Islam lainya dapat menambah bobot mata pelajaran agama melebihi yang telah ditetapkan oleh Departemen Pendidikan Naional. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas Bab XIII Pasal 47 Ayat 2, bahwa ciri satuan pendidikan adalah yang diselenggarakan masyarakat serta diindahkan.
Implementasi dan perkembangan pendidikan agama di sekolah banyak mengalami hambatan-hambatan dan upaya-upaya solusi sebagaimana yang telah dipaparkan pada penjelasan terdahulu. Pada era reformasi dan demokrasi seperti sekarang ini paradigma pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional tentulah mengalami perubahan-perubahan model pengembangan instruksional pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, agar tujuan pendidikan agama dan dapat tercapai dan sinerji dengan standar nasional pendidikan.
Paradigma baru model pendidikan agama dalam UU Sisdiknas berupaya agar:
a.       Pendidikan agama diajarkan sesuai dengan keyakinan yang dianut peserta didik.
b.      Agama pendidik harus sama dengan agama peserta didik untuk lebih menjalin kebenaran ajaran agama tersebut.
c.       Pendidikan agama kelak bukan lagi sebagai pengetahuan kognitif akan tetapi lebih bernuansa moral dan bersifat hidup praktis serta dinamis.
d.      Pengajaran agama dilaksanakan oleh guru yang ahli dibidangnya bukan oleh yang tidak ahli dibidangnya (mismatch).[11]

Perlunya model-model pengembangan instruksional menurut Taksonomi Guftafson Bloom yang dapat diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran agama di sekolah-sekolah umum, madrasah-madrasah dan sekolah Islam lainnya, dapat dibagi menjadi empat katagori, yaitu:[12]
a.       Model pengembangan instruksional pendidikan agama yang berorientasi pada kelas
b.      Model pengembangan instruksional pendidikan agama yang berorientasi pada hasil
c.       Model pengembangan instruksional pendidikan agama yang berorientasi pada sistem
d.      Model pengembangan instruksional pendidikan yang berorientasi pada organisasi

Diharapkan dari kombinasi UUD Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan model-model pengembangan instruksional ini dapat menghasilkan (output) peserta didik yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki akhlak mulia (akhlakul karimah) dan pengetahuan agama yang luas.
Pendidikan agama sebagai sebuah mata pelajaran yang dilaksanakan bersama dengan komponen lainnya berupa, peserta didik, pendidik, kurikulum, metode, evaluasi, saran, dan fasilitas, serta struktural dan kultural, sehingga harus dilaksanakan secara simultan dan beriringan untuk mendapatkan hasil dari tujuan pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Tujuan yang esensial
dan implementasi terhadap pendidikan agama disekolah adalah untuk memberikan pengetahuan keagamaan yang dapat dipraktekkan peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tingkat umur, dan kematangannya, secara kritis, kreatif dan inovatif serta lebih bersifat fungsional. Tujuan implementasi ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Bab II Pasal 2 Ayat (1) : “Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berahklak
mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama.” [13] Pada Bab III Pasal 8 Ayat (2) tentang pendidikan keagamaan di nyatakan bahwa: “Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif inovatif dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertaqwa dan berahklak mulia.”[14]
c.       Orientasi Pengembangan Standar Kompetensi dan Efektifitas Pendidikan Agama di Sekolah Umum sebagai Mata Pelajaran Kecakapan Hidup (Life Skill)
Keberadaan pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal sebagai mata pelajaran tersendiri (integralistik) berawal pada persoalan pendidikan sekuler minus agama yang dikembangkan pemerintah penjajahan kolonial. Pendidikan yang demikian ini dulu dinilai masyarakat sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan yang berakar dari budaya bangsa, akhirnya masyarakat Indonesia menuntut pembelajaran agama kembali diajarakan.
Usaha menghidupkan kembali eksistensi dari orientasi pembelajaran agama sebagai mata pelajaran ini menemukan momentumnya setelah terbitnya UU No. 4 Tahun 1950 dan Peraturan Menteri Agama Tanggal 16 Juli 1951 yang menjamin adanya pendidikan agama di sekolah umum serta UU Sisdiknas Tahun 1989 dan 2003 hingga sekarang ini.[15]
 Standar kompetensi mata pelajaran agama pendidikan agama Islam merupakan pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan dari sikap serta nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak yang seharusnya dicapai oleh peserta didik setelah menyelesaikan mata pelajaran agama.
Kompetensi dasar pendidikan agama disekolah umum merupakan target minimal yang harus dicapai oleh peserta didik. Kompetensi ini kemudian dirumuskan standarnya secara jelas, mudah dimengerti dan mengandung informasi tentang kinerja peserta didik. Standar ini harus dapat diukur untuk memudahkan mengambil pengambilan keputusan pendidikan yang tepat, terkait dengan pembelajaran pendidikan agama Islam dan hasil belajar pendidikan agama peserta didik. Standar inilah yang menjadi dasar penilaian (evaluasi) pendidikan agama Islam berorientasi kelas.[16]
Dalam menentukan standar kompetensi pendidikan agama Islam di
sekolah
umum, pendidik dapat menggunakan sumber atau rujukan berupa:
1. Al-Qur’an dan Sunnah
2. Buku teks dan bidang kajian ke Islaman
3. Analisis taksonomi hasil belajar
4. Para praktisi (khususnya para pendidik) bidang pendidikan agama Islam
5. Masyarakat pengguna layanan sekolah/madrasah

Adapun masalah aspek dan cakupan dalam perumusan standar kompetensi dapat berupa kompetensi dalam aspek kognitif, sikap, nilai, dan keterampilan. Sehingga perlu ditegaskan bahwa kompetensi pendidikan agama dan indikator pencapaiannya harus merupakan jabaran sebagaimana yang dijelaskan dalam tujuan pendidikan nasional, yang tertuang dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal (3).
Alternatif pendekatan (metodologi) yang dapat digunakan institusi pendidikan untuk mengefektifitaskan pendidikan agama di sekolah umum  (dasar dan menengah) sebagai mata pelajaran adalah sebagai berikut:[17]
a.       Mata pelajaran agama sebagai komponen pendidikan dasar harus mampu mengembangkan sikap agamis dan kemampuan untuk mengetahui hukum syariat, terutama untuk hal yang bersifat insani serta terampil melaksanakan ibadah khususnya ibadah mahdhah dan mampu melaksanakan ajaran agama yang ada hubungannya dengan kepentingan hidup dalam masyarakat. Kompetensi pendidikan tersebut harus dapat dijadikan pra syarat untuk jenjang pendidikan lanjutan (bandingkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia, No. 2 Tahun 1989 Bab V Bagian Pasal 13 a): Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik untuk memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah (pendidikan lanjutan).
b.      Mata pelajaran agama sebagai komponen pendidikan menengah sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Bab V
Bagian ketiga Pasal 15 Ayat 1: “Pendidikan menengah untuk melanjutkan
dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam”, dengan demikian, pendidikan agama harus merupakan pengembangan pengetahuan agama yang mendasar dalam hubungannya dengan masalah kehidupan masyarakat. Dengan perkataan lain, pendidikan agama harus mampu mengajarkan hubungan ibadah mahdhah dengan ibadah muamalah secara umum dalam bentuk praktis aplikatif.
c.       Pendidikan keagamaan sebagai pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk mampu menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan (lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, Bab IV, Pasal 11 Ayat 6), hendaknya memiliki ciri khas sebagai satuan pendidikan keagamaan (lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, Bab IX, Pasal 38 dan Bab XIII, Pasal 47 Ayat 2).[18]

Ada konstruksi dua struktur bangun sebagai kerangka acuan pengembangan standar kompetensi pendidikan agama, yaitu:
1.      Pendidikan umum (public school) yang berorientasi pada nilai, ajaran, dan prinsip-prinsip syariat, baik dalam pengertian agama sebagai wahyu maupun agama sebagai kultur Islami. Paradigma rancang bangun pendidikan dalam pendekatan ini adalah paradigma integrative. Artinya, pelajar dan seluruh struktur kurikulumnya berwawasan Islami sehingga tidak ada satu kegiatanpun yang terlepas dari pendidikan syariat, dengan demikian, pendidikan yang memiliki kekhasan keagamaan tidak menganut pendekatan atau paradigma pendidikan keagamaan yang hanya sebagai komponen pendidikan tetapi lebih dari pada itu.
2.      Kekhasan kelembagaan pendidikan dengan ciri keagamaan memiliki bentuk program pendidikan keagamaan seperti yang berlaku disekolah-sekolah Islam. Secara historis maupun sosiologis, pendidikan di sekolah-sekolah umum dan Islam telah dimiliki bangsa Indonesia, khususnya umat Islam sejak lama. Dalam hal ini, sekolah-sekolah Islam merupakan lembaga pendidikan yang melaksanakan proses program pendidikan ilmu-ilmu agama dalam arti khusus dan umum. Bentuk pendidikan keagamaan seperti ini mungkin memerlukan reorganisasi mengingat munculnya prinsip-prinsip dasar yang membentuk konsepsi-konsepsi muthakhir seperti konsep dan pengertian agama yang bersifat komprehensif, ibadah yang menyeluruh (termasuk muamalah), akhlak yang meliputi kultur dan peradaban.[19]

Mencermati PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama pada Bab I Pasal (1): “Pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang dilaksanakan sekurang-kurangnya memalui mata pelajara/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan “.
Dalam kaitan ini ada beberapa hal yang menjadi perhatian pendidik untuk menjadikan mata pelajaran agama sebagai sebuah keterampilan (Life skill) peserta didik di dalam mengaplikasikannya dalam bentuk akhlakhul karimah (budi pekerti yang baik), yaitu :[20]
a.   Kecakapan Hidup (life skill) yang terdiri dari kecakapan (keterampilan) personal, kecakapan sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Prinsip ini memaknai, bahwa mata pelajaran dipahami sebagai alat dan bukan sebagai tujuan.
b.   Keterampilan sikap (afektif), yang terdiri dari dua aspek. Pertama sikap yang berkenaan dengan nilai, moral, tata susila, baik buruk, dan sebagainya. Kedua harus menjadi dasar pengembangan standar kompetensi pendidikan agama Islam dan menjadi acuan implementasi kurikulum pendidikan agama Islam dalam proses pembelajarannya.


Secara umum ada tiga macam life skill:
1.      General life skill (GLS) atau kecakapan hidup umum yang mencangkup kesadaran diri atau kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial (social skill). Pendidikan sekolah umum tingkat dasar difokuskan pada kecakapan ini, hal ini didasarkan atas prinsip bahwa kecakapan hidup umum merupakan fondasi kecakapan hidup yang akan diperlukan untuk mempelajari kecakapan hidup berikutnya dan bahkan untuk terjun dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Vocational skill (kecakapan vokasional) merupakan kecakapan kejujuran. Kecakapan ini dapat memantapkan kecakapan hidup umum, dikembangkan pada sekolah kejujuran atau keterampilan tingkat menengah
3.      Academic skill (kecakapan akademik) pendidikan di sekolah tingkat menengah difokuskan untuk mengembangkan kecakapan ini dan juga memantapkan kecakapan hidup umum, walaupun sebenarnya di sekolah tingkat dasar, tahap awal kecakapan akademik sudah dapat mulai dikembangkan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Sekolah Dasar (SD), sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) telah terjadi proses pengembangan kecakapan General Life skill, vocational skill dan academic skill, dengan fokus dengan jenjang masing-masing. Proses pengembangan kecakapan ini perlu menjadi pertimbangan dalam pengembangan standar kompetensi Pendidikan Agama Islam (PAI).[21]
Demikianlah, standar kompetensi PAI yang dikembangkan disekolah umum tidak semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan saja, tetapi yang lebih penting adalah untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari melalui kecakapan hidup akhlakul karimah (budi pekerti).
d.      Karakteristik Pendidikan Agama Pada Sekolah Umum Paradigma Baru (Amanat UU Sisdiknas)
Dalam semua regulasi perundang-undangan tentang pendidikan yang diberlakukan di Indonesia, pendidikan agama menempati posisi yang strategis dan sangat penting sehingga kedudukan (posisi) pendidikan agama di sekolah semakin kuat dan jelas sesuai dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 dan Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah (PP) lainnya.
Peran dan fungsi pendidikan agama di sekolah umum dalam konteks mata pelajaran secara historis maupun fungsional mempunyai peran dan tanggung jawab besar terhadap kecakapan hidup (life skill) peserta didik dikehidupan sehari-harinya, karena setiap mata pelajaran memiliki karakteristik (ciri khas) tertentu yang dapat membedakan dengan mata pelajaran lainnya, tidak terkecuali mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah umum juga memiliki karakteristik dalam rangka untuk mencapai tujuan kecakapan hidup peserta didik dalam lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakatnya.[22]
Adapun karakteristik paradigma baru pendidikan agama di sekolah umum berupa:
a.   Pendidikan agama untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi pekerti yang luhur (berakhlak mulia) serta memiliki pengetahuan tentang ajaran pokok agama Islam dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
b.   Pendidikan agama Islam merupakan rumpun mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok yang terdapat dalam agama Islam sebagai sebuah program pembelajaran yang diarahkan untuk menjaga akidah dan ketaqwaan peserta didik, menjadi landasan untuk lebih rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang diajarkan di sekolah, mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif, dan inofatif, serta menjadi landasan prilaku dalam kehidupan sehari-harinya di masyarakat.
c.   Pembelajaran pendidikan agama Islam tidak hanya menekankan penguasaan kompetensi kognitif saja tetapi juga afektif dan psikomotornya berupa kecakapan hidup umum (General We skill) yang mencakup kecakapan personal dan kecakapan sosial
d.   Output program pembelajaran pendidikan agama Islam paradigma baru di sekolah umum adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti), hal ini dikarenakan bahwa pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa pendidikan dalam Islam, sehingga pencapaian akhlak mulia adalah tujuan sebenarnya dan pendidikan.[23]

Yang harus menjadi perhatian kita bersama adalah, bahwa pencapaian akhlak mulia justru mengalami kesulitan jika hanya dianggap menjadi tanggung jawab mata pelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah umum saja, bukan menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk mata pelajaran non pendidikan agama dan guru-guru yang mengajarkannya. Ini berarti kalaulah akidah akhlak itu tampak menjadi muatan mata pelajaran pendidikan agama, yang mengandung pendidikan iman dan moral maka mata pelajaran lainnya juga perlu mengandung muatan pendidikan akhlak (budi pekerti).
Lebih dari pada itu, semua guru harus memperhatikan akhlak peserta didik dan berupaya menanamkannya pada setiap proses pembelajaran. Jadi pencapaian akhlakul karimah (mulia) tidak cukup hanya melalui mata pelajaran pendidikan agama akan tetapi lebih dari pada itu.




C.    Penutup
Sejak diundangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003, maka kedudukan pendidikan agama baik secara umum maupun khusus (Islam) semakin kuat keberadaannya di sekolah-sekolah umum.
Paradigma baru pendidikan agama di sekolah umum sebagai mata pelajaran kecakapan hidup umum (general life skill) diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreatifitas, mandiri dan motivasi hidup sehingga dapat menumbuhkan sikap kritis, inovatif, dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah lingkungan keluarga serta masyarakat madani dan era globalisasi saat ini, dan yang lebih penting adalah bagaimana dapat membangun sikap mental peserta didik untuk berakhlak mulia, jujur, amanah, disiplin dan bertanggung jawab dalam mengaplikasikan pengetahuan pendidik agama tersebut dikehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini dapat dicermati dari isi undang-undang Sisdiknas dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 Bab II Pasal 5, 6 dan 7.
Pencapaian akhlakul karimah (budi pekerti yang baik) melalui mata pelajaran agama (pendidikan agama) di sekolah umum bukan hanya tanggung jawab mata pelajaran agama itu sendiri, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab mata pelajaran non pendidikan agama dan guru-guru yang mengajarkannya harus berupaya menanamkannya dalam setiap proses pembelajaran, sehingga output program pembelajaran pendidikan agama Islam (paradigma baru) di sekolah umum adalah terbentuknya kompetensi budi pekerti peserta didik yang baik, pada ranah kognitif,
afektif, dan psikomotoriknya.







DAFTAR BACAAN


Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam, cet. I (Jakarta: CV. Pustaka Setia, 2004)


___________, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2004)


___________, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. I (Jakarta: Kencana, 2007)


Depag RI Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Sekolah Umum/Madrasah, (Jakarta: 2003)


___________, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, Paradigma Baru (Jakarta: 2005)


___________, Kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang
Pendidikan,
(Jakarta: 2007)


Zuhairmi. Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: 2003)


Faisal Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I, (Jakarta: Gema Insani, 1995)


Sukamto, Toeti, Perancangan dan Pengembangan Sistem Instruksional, cet. I (Jakarta: CV. Intermedia, 1993)




ABSTRAK

Arah kebijakan politik pendidikan agama pada sekolah umum dan sekolah
umum bercirikan Islam secara umum dapat diamati dari sisi dan
tujuan Undang
Undang yang
pernah ada di Indonesia. Kebijakan politik pendidikan ini dimulai dari
Undang-Undang RI. No. 4
Tahun 1950, peraturan Menteri Agama RI tanggal 16 Juli
1951, Undang-Undang RI. No. 2 tahun 1954, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) No. 2
Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003, PP No. 28 Tahun
1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah
dan yang terakhir PP No.55 Tahun 2007 sampai sekarang.
Tujuan esensial dan implementasi arah kebijakan politik pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum dan sekolah-sekolah bercirikan Islam ini adalah, untuk memberikan pengetahuan keagamaan, agar selalu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia yang dipraktekkan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tingkat umur, secara kritis, kreatif, inovatif, dinamis dan berwawasan luas dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa dan beragama.














 
 


[1] Haidar Putra Daulay, Sejarah dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. I (Jakarta: Kencana, 2007), h. 84
[2] Ibid, h. 89-90
[3] Direktorat Jendral Pendidikan Islam Depag RI, Kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan, (Jakarta, 2007), h. 24
[4] Zuhairini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan Islam, (Jakarta, 2003), h. 27
[5] Dauly, Sejarah Pertumbuhan …, h. 75
[6] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, Paradigma Baru (Jakarta, 2005), h. 40
[7] Ibid,
[8] Ibid, h. 41
[9] Ibid, h. 42
[10] Haidar Putra Dauly, Pendidikan Dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Cet. I, Jakarta, Kencana, 2004), h. 37
[11] Depag RI, Pendidikan Islam …, h. 57-58
[12] Teoti Sukamto, Perancangan dan Pengembangan Instruksional, Cet. I (Jakarta, CV. Inter Media, 1993), h. 12-13
[13] Depag RI. Kumpulan Undang-Undang……., h. 229
[14] Ibid. h. 233
[15] Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam, cet. I (Jakarta, CV. Pustaka Setia, 2004), h. 146
[16] Depag RI Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Sekolah Umum/Madrasah, (Jakarta, 2003), h. 6
[17] Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan Islam, cet. I (Jakarta, Gema Insani, 1995), h. 18
[18] Ibid.,
[19] Ibid., h. 19
[20] Depag RI, Pedoman Umum….., h. 8
[21] Ibid.,
[22] Ibid., h. 3-4
[23] Ibid., h. 5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar