Sabtu, 26 Mei 2012
DIDAKTIK dan METODIK
Kita sering sekali menemukan istilah ini di dalam metodologi pembelajaran,akan tetapi kadang-kadang kita agak sulit membedakan kedua istilah tersebut.oleh karenanya mungkin tulisan ini dapat membantu kita semuanya unuk dapat membedakannya dalam pengertiannya dan juga perbedaan diantara keduanya.
Sebagaimana yang dimaklumi bersama,bahwa Metodik(metode)adalah suatu cara(jalan) yang diterapkan oleh seorang pengajar di dalam menyajikan materi pelajaran tertentu,sehingga mudah untuk diterima dan diserap oleh peserta didik di dalam proses pembelajarannya(belajar-mengajar)
Adapun,Didaktik adalah ilmu mengajar yang bertujuan untuk mempengaruhi karakteristik(prilaku)peserta didik dengan didasarkan atas dasar-dasar prinsip-prinsip penyajian bahan pelajaran agar dapat dikuasai oleh anak didik dengan baik dan benar.
Biasanya hanya pengajar dari tamatan pendidikan keguruan saja yang menguasai ilmu Didaktik ini,karena meraka dibekali dengan ilmu mengajar seperti psikologi pendidikan,prinsip-prinsip penagajaran,filsafat pendiddikan dan lain-lain yang berkaitan dengan ilmu pendidikan lainnya.hal ini sangat berbeda dengan pengajar yang tidak sama sekali mempelajari ilmu pendidikan yang menjadi syarat di dalam mendidik dan mengajar ,sehingga tidak jarang kita lihat kalau sebagian guru di dalam mengajarnya hanya mentransfer ilmu pengetahuannya saja tanpa mau melihat kepada sisi lainnya berupa latar belakang pendidikan anak,psikologi pendidikan anak,bakat(kecenderungan)anak.
Dari urain diatas,maka akan timbul peranyaan-pertanyaan:"menagapa hasil pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh seorang pendidik dan pengajar tidak menemukan hasil yang maksimal?
hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman guru tentang pengetahuan didaktik dan metodik(metode),serta kurangnya variasi metode yang diterapkan di dalam proses pembelajarannya sehari-hari.
Pengertian metodologi pembelajaran b.Arab
Banyak pendapat para ahli bahasa yang mendefenisikan tentang metodologi itu sendiri,diantaranya adalah metodologi secara etimologi berasal dari bahasa Yunani,yaitu Metodos yang berarati cara atau jalan,sedangkan Logos berarti ilmu(pengetahuan).
Adapun secara semantik metodologi adalah pengetahuan yang mempelajari tentang cara(jalan)yang diterapkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan baik dan benar serta efektif dan efesien.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Arab yng dimaksudkan dengan metodologi pembelajaran adalah suatu cara (jalan)yang diterapkan oleh seorang pengajar untuk dapat menyajikan bahan-bahan(materi ajar)bahasa Arab,agar mudah diserap dan terima serta dikuasai oleh peserta didik dengan baik dan benar serta menyenagkan tidak membosankan.
Biasanya yang dibahas di dalam metodologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan Pendekatan(Approach),Metode(Method),Strategi/tehnik(strategist/technique),Media Pembelajaran,Evaluasi Pendidikana,Filsafat Pendidikan dan lain-lainnya yang berkaitan dengan cara/jalan pembelajaran.
Jumat, 25 Mei 2012
Metodologi Pembelajaran bahasa Arab
Pengertian,persamaan dan perbedaan
(Pendekatan,Metode dan Tehnik)
Pendekatan(al-madkhal/approach) ysng dimaksudkan adalah Teori mengenai hakikat bahasa,filosofis bahasa,pembelajaran bahasa sebagai sebuah praduga(asumsi)yang secara teoritis disepakati sebagai kebenaran umum yang tidak perlu lagi di buktikan,dimana Pendekatan ini bersifat axiomatic(mutlak).Contoh,oural-oral approach yang menjelaskan bahwa bahasa itu adalah yang didengar dan diucapkan
Metode(al_thariqah/method yang dimaksudkan adalah jalan yang ditempuh untuk menyajikan materi pelajaran bahasa secara sistematika,agar mudah diterima(diserap)oleh peserta didik dengan baik dan menyenangkan,dimana metode ini bersifat prosuduril serta tidak bertentangan dengan pendekatan.Contoh audio-lingual method yang menjelaskan bahwa metode pembelajaran bahasa yang baik adalah apa yang didengar kemudian diucapkan langsung.
Tehnik(al-asalib/techtic) yang dimaksudkan adalah penerapan dari pendekatan dan metode di dalam proses pembelajaran yang biasanya terjadi didalam ruang formal,dimana tehnik ini bersifat oprasional yang pelaksaannya selalu mengikuti prosedur metode dan berdasarkan atas prinsip-prinsip pendekatan(al-madkhal)
Sabtu, 19 Mei 2012
Arah Pendidikan Agama islam di Indonesia
Arah politik dan kebijakan pendidikan di Indonesia tentang pendidikan agama Islam,klik di sini!
Arah pendidikan dan kebijakan politik pendidikan
ARAH PENDIDIKAN AGAMA
PADA SEKOLAH UMUM
SEJAK LAHIRNYA
UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN
NASIONAL NO. 2 TAHUN
1989 SAMPAI SEKARANG
(Tinjauan Kebijakan Politik Pendidikan)
Oleh : Ibnu Haldun, MA
A.
Pendahuluan
Keberadaan pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum secara konstitusi sebenarnya telah ada pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini dapat diperhatikan
dari keberadaan regulasi undang-undang
yang pernah ada. Dimulai dari Undang-Undang
RI No. 4 Tahun 1950,
Undang-Undang RI No. 12 Tahun 1954
dan Undang-Undang sistem pendidikan nasional No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003 hingga sekarang.
Regulasi perundang-undangan
pendidikan agama dan keagamaan
dalam sistem pendidikan nasional, telah
membawa pembaharuan yang
signifikan pada tatanan tujuan
pendidikan Islam di negara ini,
sehingga berdampak pada pengertian
paradigma baru pendidikan Islam sebagai
sub sistem pendidikan nasional
yang berimplikasi pada perkembangan
lembaga (institusi), kurikulum (mata
pelajaran), tujuan, nilai (value),
pendidikan itu sendiri berdasarkan Standar Pendidikan Nasional (SPN).
Sejak diundangkannya
UU No. 2 Tahun 1989, kemudian ditindak lanjuti dengan
lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) yang meliputi: PP No. 28 Tahun
1990 tentang pendidikan dasar dan PP
No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah kemudian setelah ditetapkannya
tujuan pendidikan nasional dalam UU
No. 2 Tahun 1989 (UUSPN), maka
kedudukan pendidikan agama Islam
semakin kuat keberadaannya di
sekolah-sekolah umum.[1]
Hal tersebut dapat diketahui pada Bab IX Pasal 39, ayat 2, tentang isi kurikulum. Isi kurikulum setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
wajib memuat:[2]
a) Pendidikan Pancasila, b) Pendidikan Agama, c) Pendidikan Kewarganegaraan.
Juga dengan lahirnya
UU Sisdiknas No. 20 Tahun
2003 Bab X Pasal 37 ayat
1, tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:[3]
1, tentang kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:[3]
a.
Pendidikan agama
b.
Bahasa
c.
Ilmu Pengetahuan Alam
d.
Seni dan Budaya
e.
Keterampilan/kejujuran
f.
Pendidikan Kewarganegaraan
g.
Matematika
h.
Ilmu Pengetahuan Sosial
i.
Pendidikan Jasmani dan Olah Raga
j.
Muatan Lokal
B.
Pembahasan
a.
Pengertian dan Permasalahan
Pendidikan Agama Pada Sekolah Umum
Pendidikan agama di sekolah umum dapat
didefenisikan sebagai usaha yang secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar
mereka hidup sesuai dengan ajaran
Islam. Hal ini dibedakan dari pengajaran
agama yang dianggap hanya pemberian
pengetahuan (kognitif) agama kepada
anak, agar supaya mereka mempunyai ilmu pengetahuan agama yang baik.
Pendidikan agama tersebut, dimaksudkan
untuk membangun aspek keimanan dan ketaqwaan
sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang.[4]
Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia (WJS. Poerwadarininto) diterangkan
tentang arti sekolah sebagai:
a.
Sebuah bangunan atau
lembaga untuk belajar dan memberi
pelajaran
b.
Sebuah tempat pertemuan, dimana peserta didik belajar
c.
Sebuah tempat usaha untuk menuntut kepandaian (ilmu pengetahuan)
Dari
beberapa buku-buku referensi tentang
teori pendidikan dijelaskan bahwa
sekolah adalah salah satu tripusat pendidikan di samping lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat, walaupun ketiganya mempunyai fungsi yang berbeda-beda
dari segi teknisnya.[5]
Jadi
dapat disimpulkan bahwa sekolah umum adalah
pendidikan formal (Pasal 13 Sisdiknas) yang meliputi jalur
pendidikan berjenjang dan berstruktur
yang terdiri atas pendidikan dasas, pendidikan menengah dan
pendidikan tinggi, serta mengacu pada
standar nasional pendidikan yang terdiri
dari isi pendidikan (kurikulum), jumlah
dan kualifikasi pendidik serta tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana yang memungkinkan terselenggaranya kegiatan pembelajaran,
manajemen dan proses pendidikan, serta sumber pembiayaan sekurang-kurangnya untuk satu tahun akademik berikutnya.
Sejak peraturan perundang-undangan Indonesia mewajibkan materi pendidikan agama
diajarkan, selama itu pula telah
diatur di sana
mengenai agama apa dan untuk siapa, akan tetapai seringkali pendidikan agama tersebut diberikan
secara mismatch (salah letak). Misalnya, siswa non muslim di sekolah umum diberi pelajaran agama Islam. Demikian pula peserta didik muslim di sekolah non muslim diberikan
materi pembelajaran agama yang tidak
sesuai dengan agama yang dianutnya.
Praktek pendidikan agama semacam ini belakangan ini dimulai tidak proporsional, juga telah
menimbulkan kekhawatiran menjadi ajang apostesi (permurtadan siswa-siswa).
Walaupun sebenarnya hal ini telah
diataur didalam undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab V Pasal 12, ayat 1 (a) yaitu: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.”[6]
Selain itu, tujuan pendidikan agama juga dipertanyakan?
Artinya masyarakat mengharapkan agar
pendidikan agama selain
mengajarkan ibadah, juga diharapkan dapat membangun moral peserta didik. Belakangan ini banyak orang beranggapan bahwa pendidikan agama telah diberikan secara tidak
profesional yaitu melaksanakan ibadah saja, tanpa mau membangun karakter budi
pekerti (moral), sampai-sampai ada yang menyarankan agar pendidikan agama
didekatkan pada masalah moralitas saja, sedangkan masalah ibadah lebih baik
diserahkan kepada keluarga saja. Pendapat
yang lain menganggap masalah moralitas
ini bermuara pada masalah
pendidikan agama yang tidak diberikan
secara optimal, yang disebabkan oleh karena
pendidikan agama tidak pernah diberikan
secara serius melalui kecocokan antara
pendidik agama dan peserta didik. Jika
sudah diberikan secara proporsional,
artinya pendidikan agama diberikan secara serius, kejadiannya mungkin
akan berbeda.
Sebenarnya kalau dicermati lebih teliti,
tentang alibi kelemahan pendidikan agama yang gagal membangun nuansa ibadah (obedience) dan moralitas, maka jawabannya adalah lebih disebabkan oleh faktor pendidikan agama yang diajarkan mismatch (tidak
cocok antara agama pendidik dan
peserta didik), walaupun ini hanyalah
merupakan salah satu penyebab
lemahnya pendidikan agama bagi peserta didik. Ada faktor-faktor lain yang juga sebenarnya turut serta menjadi
penyebabnya.
Dibeberapa
sekolah yang pendidikan agamanya sudah
diberikan secara proporsional antara
agama pendidik dan agama peserta didik, kelemahan-kelemahan pendidikan agama yang sama tetap saja menghantui. Faktor-faktor kelemahan utama
lainnya adalah soal keterbatasan waktu dan metode pembelajarannya.[7]
Bagaimana mungkin pembe1ajaran agama dengan durasi waktu 2 jam perminggu dapat menanamkan keimanan yang kuat dan budi pekerti yang baik kepada diri seorang peserta didik, sementara lingkungan sekolah, rumah dan masyarakat yang
dihadapinya sangat berbeda bahkan cenderung berlawanan dengan nasehat-nasehat agama yang diterimanya sewaktu berada di sekolahnya, apalagi jika guru pendidikan agama
tidak menjelaskan mengapa disparitas
suasana dan ajaran demikian
berbeda (dan kebanyakan guru agama memang tidak mampu menjelaskannya).
Dalam
kondisi demikian, sikap yang akan diambil oleh peserta didik akan
beraneka ragam, misalnya:
1.
Peserta didik akan menjadi manusia agamis yang terkungkung karena seluruh
ajaran agama berlawanan dengan lingkungannya
2. Peserta didik akan
menjalankan ajaran agama tetapi secara bercampur baur. Misalnya melakukan shalat tetapi juga mencuri, berjudi, dan lain-lain
3. Peserta didik akan
mengabaikan ajaran agama yang diterimanya sama sekali, karena ia kalah dengan
lingkungannya. Yang terakhir ini mengikuti
pembelajaran pendidikan agama hanya
sekedar memenuhi kewajiban akademis belaka dan tidak untuk memperbaiki
corak kehidupannya sama sekali.[8]
Terlepas dari berbagai kelemahan pendidikan agama di sekolah umum, banyak
penyelenggara sekolah umum akhirnya
melekatkan suasana sekolah menjadi wahana terpadu pembelajaran agama. Kemunculan sistem sekolah Islam, misalnya
SD Islam, SMP Islam atau SMA Islam terpadu serta Pondok Pesantren Modern, merupakan terapi pengembangan pendidikan agama agar kelemahan yang biasa terjadi bisa diatasi.
Slogan yang dipampang bermacam ragam, ada yang 30% agama 70% umum, atau sebaliknya. Ada yang masing-masing 50% pendidikan umum dan 50%
pendidikan agama atau
100% pendidikan umum dan agama. Dengan
kemunculan kecenderungan baru pendidikan
Islam semacam ini, masalah pendidikan
agama di sekolah umum relatif sudah bisa diselesaikan sebagian.
Siapapun sebenarnya bisa menerka bahwa, dengan hanya mengandalkan 2 jam
pembelajaran, kiranya masalah pendidikan agama mungkin kondisinya tidak akan jauh berbeda, oleh karena itu juga para pendidik agama harus mulai mencari solusi dan terapi untuk prospek
pendidikan agama di masa depan,
diantaranya adalah dengan merangkul orang tua melakukan terapi penyempurnaan melalui:
1.
Belajar ilmu agama di rumah, baik
oleh orang tua atau memanggil guru ngaji
2.
Bersekolah negeri sambil menjadi
santri di pondok pesantren
Solusi
dan terapi penyempurnaan ini bersifat bebas, artinya tidak semua orang tua menyadari
betapa pentingnya melakukan hal ini. Banyak sekali yang tidak melakukannya,
baik karena tidak menyadari, tidak peduli ataupun tidak mampu dari segi
finansial. Persoalan yang bampir sama dihadapi oleh siswa di sekolah negeri
adalah yang bersekolah di yayasan-yayasan dengan lambang agama lain. Nasib
mereka sedikit tertolong oleh pasal 12 ayat (1) huruf a UU Sisdiknas, dimana
mereka akan mendapatkan pengajaran agama sesuai dengan agama yang diyakininya
dan diajarkan oleh guru yang seagama.[9]
b.
Kedudukan dan Implementasi
Undang-undang Sisdiknas Terhadap Model Pendidikan Agama Pada Sekolah
Umum (UU No. 2 Tahun 1989,
UU No.20 Tahun 2003 dan PP No. 55 Tahun
2007)
Setelah
keluarnya peraturan perundang-undangan No. 2 Tahun 1989 Pasal 39 Ayat 2, tentang kewajiban memberikan mata pelajaran
agama pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan (pendidikan pancasila,
pendidikan agama, dan pendidikan kewarganegaraan). Kemudian diikuti dengan
Undang-Undang No. 20 tahun 2003, Pasal
12 Ayat 1 (a) “Setiap Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama
sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan sesuai oleh pendidik yang seagama.” Serta peraturan pemerintah (PP) No. 28, 29 tahun 1990 tentang
pendidikan dasar dan menengah. Maka
kedudukan pendidikan agama di sekolah
umum dan sekolah bercirikan Islam semakin kuat di Indonesia.[10]
Dalam operasionalnya pendidikan agama di sekolah-sekolah
umum diatur oleh keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Nasional. Di sekolah-sekolah umum negeri pada tingkat
dasar dan menengah, pendidikan agama
dilaksanakan dua jam pelajaran setiap minggunya,
adapun sekolah-sekolah umum yang
bercirikan agama dan sekolah-sekolah
Islam lainya dapat menambah bobot
mata pelajaran agama melebihi yang telah ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan Naional. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas Bab
XIII Pasal 47 Ayat 2, bahwa ciri satuan pendidikan adalah yang diselenggarakan masyarakat
serta diindahkan.
Implementasi dan perkembangan pendidikan agama di sekolah
banyak mengalami hambatan-hambatan dan upaya-upaya solusi sebagaimana yang telah dipaparkan pada
penjelasan terdahulu. Pada era reformasi dan demokrasi seperti sekarang ini
paradigma pendidikan Islam dalam sistem
pendidikan nasional tentulah mengalami perubahan-perubahan model pengembangan instruksional pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum, agar tujuan
pendidikan agama dan dapat
tercapai dan sinerji dengan standar nasional pendidikan.
Paradigma baru model pendidikan agama dalam UU Sisdiknas berupaya agar:
a. Pendidikan agama diajarkan
sesuai dengan keyakinan yang
dianut peserta didik.
b. Agama pendidik harus
sama dengan agama peserta didik untuk
lebih menjalin kebenaran ajaran
agama tersebut.
c. Pendidikan agama kelak bukan
lagi sebagai pengetahuan kognitif akan tetapi lebih bernuansa moral
dan bersifat hidup
praktis serta dinamis.
d. Pengajaran agama dilaksanakan
oleh guru yang ahli dibidangnya bukan oleh yang tidak ahli dibidangnya (mismatch).[11]
Perlunya model-model pengembangan
instruksional menurut Taksonomi Guftafson Bloom yang dapat diaplikasikan
dalam bentuk pembelajaran agama
di sekolah-sekolah umum, madrasah-madrasah dan sekolah Islam lainnya, dapat dibagi menjadi empat katagori, yaitu:[12]
a. Model pengembangan
instruksional pendidikan agama yang berorientasi pada kelas
b. Model pengembangan
instruksional pendidikan agama yang berorientasi pada hasil
c. Model pengembangan
instruksional pendidikan agama yang
berorientasi pada sistem
d. Model pengembangan
instruksional pendidikan yang berorientasi pada organisasi
Diharapkan dari kombinasi UUD
Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007
tentang Pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dan model-model pengembangan instruksional ini
dapat menghasilkan (output) peserta
didik yang bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa serta memiliki akhlak
mulia (akhlakul karimah) dan pengetahuan agama yang luas.
Pendidikan agama sebagai sebuah mata pelajaran yang dilaksanakan bersama dengan komponen lainnya berupa,
peserta didik, pendidik, kurikulum,
metode, evaluasi, saran, dan fasilitas,
serta struktural dan kultural, sehingga
harus dilaksanakan secara simultan dan
beriringan untuk mendapatkan hasil dari
tujuan pendidikan yang sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP).
Tujuan yang esensial dan implementasi terhadap pendidikan agama disekolah adalah untuk memberikan pengetahuan keagamaan yang dapat dipraktekkan peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tingkat umur, dan kematangannya, secara kritis, kreatif dan inovatif serta lebih bersifat fungsional. Tujuan implementasi ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Bab II Pasal 2 Ayat (1) : “Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berahklak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama.” [13] Pada Bab III Pasal 8 Ayat (2) tentang pendidikan keagamaan di nyatakan bahwa: “Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif inovatif dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertaqwa dan berahklak mulia.”[14]
Tujuan yang esensial dan implementasi terhadap pendidikan agama disekolah adalah untuk memberikan pengetahuan keagamaan yang dapat dipraktekkan peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tingkat umur, dan kematangannya, secara kritis, kreatif dan inovatif serta lebih bersifat fungsional. Tujuan implementasi ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama Bab II Pasal 2 Ayat (1) : “Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berahklak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama.” [13] Pada Bab III Pasal 8 Ayat (2) tentang pendidikan keagamaan di nyatakan bahwa: “Pendidikan keagamaan bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama yang berwawasan luas, kritis, kreatif inovatif dan dinamis dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang beriman, bertaqwa dan berahklak mulia.”[14]
c. Orientasi Pengembangan Standar Kompetensi dan Efektifitas Pendidikan Agama di Sekolah Umum sebagai Mata Pelajaran Kecakapan Hidup
(Life Skill)
Keberadaan
pendidikan agama yang sekarang ini kita kenal sebagai mata pelajaran tersendiri
(integralistik) berawal pada persoalan pendidikan sekuler minus agama yang
dikembangkan pemerintah penjajahan kolonial. Pendidikan yang demikian ini dulu
dinilai masyarakat sebagai bentuk penyelenggaraan pendidikan yang berakar dari
budaya bangsa, akhirnya masyarakat Indonesia menuntut pembelajaran
agama kembali diajarakan.
Usaha
menghidupkan kembali eksistensi dari orientasi pembelajaran agama sebagai mata
pelajaran ini menemukan momentumnya setelah terbitnya UU No. 4 Tahun 1950 dan
Peraturan Menteri Agama Tanggal 16 Juli
1951 yang menjamin adanya
pendidikan agama di sekolah umum serta UU Sisdiknas Tahun 1989 dan 2003 hingga sekarang ini.[15]
Standar kompetensi mata pelajaran agama
pendidikan agama Islam merupakan
pernyataan tentang pengetahuan, keterampilan dari sikap serta nilai-nilai yang direfleksikan dalam
kebiasaan berfikir dan bertindak yang seharusnya dicapai oleh peserta didik setelah menyelesaikan mata pelajaran agama.
Kompetensi dasar pendidikan agama disekolah umum merupakan target minimal
yang harus dicapai oleh peserta didik.
Kompetensi ini kemudian
dirumuskan standarnya secara jelas, mudah dimengerti dan mengandung informasi tentang kinerja peserta didik. Standar ini harus dapat diukur untuk memudahkan mengambil
pengambilan keputusan pendidikan yang
tepat, terkait dengan pembelajaran pendidikan agama Islam dan hasil belajar pendidikan agama peserta
didik. Standar inilah yang menjadi dasar
penilaian (evaluasi) pendidikan agama
Islam berorientasi kelas.[16]
Dalam
menentukan standar kompetensi pendidikan agama Islam di
sekolah umum, pendidik dapat menggunakan sumber atau rujukan berupa:
sekolah umum, pendidik dapat menggunakan sumber atau rujukan berupa:
1. Al-Qur’an dan Sunnah
2. Buku teks dan bidang kajian ke Islaman
3. Analisis taksonomi hasil belajar
4. Para
praktisi (khususnya para pendidik)
bidang pendidikan agama Islam
5. Masyarakat pengguna layanan sekolah/madrasah
Adapun
masalah aspek dan cakupan dalam
perumusan standar kompetensi dapat
berupa kompetensi dalam aspek kognitif,
sikap, nilai, dan keterampilan.
Sehingga perlu ditegaskan bahwa kompetensi pendidikan agama dan indikator
pencapaiannya harus merupakan jabaran
sebagaimana yang dijelaskan dalam tujuan pendidikan nasional, yang tertuang dalam Undang-Undang No.20 Tahun
2003 Pasal (3).
Alternatif pendekatan (metodologi) yang dapat
digunakan institusi pendidikan
untuk mengefektifitaskan pendidikan agama di sekolah umum (dasar dan menengah) sebagai mata pelajaran adalah sebagai
berikut:[17]
a.
Mata pelajaran agama
sebagai komponen pendidikan dasar
harus mampu mengembangkan sikap
agamis dan kemampuan untuk mengetahui
hukum syariat, terutama untuk
hal yang bersifat insani serta terampil
melaksanakan ibadah khususnya ibadah mahdhah dan mampu melaksanakan ajaran agama yang ada hubungannya dengan kepentingan hidup dalam masyarakat. Kompetensi pendidikan
tersebut harus dapat dijadikan pra
syarat untuk jenjang pendidikan lanjutan
(bandingkan dengan Undang-Undang
Republik Indonesia,
No. 2 Tahun 1989 Bab V Bagian
Pasal 13 a): Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan
kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan
untuk hidup dalam masyarakat serta
mempersiapkan peserta didik
untuk memenuhi persyaratan untuk mengikuti
pendidikan menengah (pendidikan lanjutan).
b.
Mata pelajaran agama sebagai komponen pendidikan menengah
sesuai
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Bab V
Bagian ketiga Pasal 15 Ayat 1: “Pendidikan menengah untuk melanjutkan
dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam”, dengan demikian, pendidikan agama harus merupakan pengembangan pengetahuan agama yang mendasar dalam hubungannya dengan masalah kehidupan masyarakat. Dengan perkataan lain, pendidikan agama harus mampu mengajarkan hubungan ibadah mahdhah dengan ibadah muamalah secara umum dalam bentuk praktis aplikatif.
dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 Bab V
Bagian ketiga Pasal 15 Ayat 1: “Pendidikan menengah untuk melanjutkan
dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam”, dengan demikian, pendidikan agama harus merupakan pengembangan pengetahuan agama yang mendasar dalam hubungannya dengan masalah kehidupan masyarakat. Dengan perkataan lain, pendidikan agama harus mampu mengajarkan hubungan ibadah mahdhah dengan ibadah muamalah secara umum dalam bentuk praktis aplikatif.
c.
Pendidikan keagamaan sebagai pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk mampu menjalankan
peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan (lihat Undang-Undang
Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, Bab IV, Pasal 11 Ayat 6), hendaknya memiliki ciri khas sebagai satuan pendidikan keagamaan
(lihat Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989, Bab IX, Pasal 38 dan Bab XIII, Pasal 47 Ayat 2).[18]
Ada konstruksi dua struktur bangun
sebagai kerangka acuan pengembangan
standar kompetensi pendidikan agama, yaitu:
1.
Pendidikan umum (public
school) yang berorientasi
pada nilai, ajaran, dan prinsip-prinsip
syariat, baik dalam pengertian agama sebagai wahyu maupun agama sebagai kultur Islami. Paradigma
rancang bangun pendidikan dalam
pendekatan ini adalah paradigma integrative. Artinya, pelajar dan seluruh struktur kurikulumnya berwawasan Islami sehingga tidak ada satu kegiatanpun yang terlepas dari
pendidikan syariat, dengan demikian,
pendidikan yang memiliki kekhasan keagamaan tidak menganut pendekatan atau paradigma pendidikan keagamaan yang hanya sebagai komponen pendidikan tetapi
lebih dari pada itu.
2.
Kekhasan kelembagaan pendidikan dengan ciri keagamaan memiliki bentuk program pendidikan keagamaan seperti yang berlaku disekolah-sekolah Islam. Secara historis maupun sosiologis, pendidikan di sekolah-sekolah umum dan Islam telah dimiliki
bangsa Indonesia,
khususnya umat Islam sejak lama.
Dalam hal ini, sekolah-sekolah Islam merupakan lembaga
pendidikan yang melaksanakan proses
program pendidikan ilmu-ilmu agama dalam arti khusus dan umum. Bentuk pendidikan keagamaan seperti ini
mungkin memerlukan reorganisasi mengingat munculnya prinsip-prinsip dasar yang
membentuk konsepsi-konsepsi muthakhir seperti konsep dan pengertian agama yang
bersifat komprehensif, ibadah yang menyeluruh (termasuk muamalah), akhlak yang meliputi
kultur dan peradaban.[19]
Mencermati
PP Nomor 55 Tahun 2007
tentang pendidikan agama pada Bab I Pasal (1): “Pendidikan agama adalah
pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya yang
dilaksanakan sekurang-kurangnya memalui mata pelajara/kuliah pada semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan “.
Dalam
kaitan ini ada beberapa hal yang menjadi perhatian pendidik untuk menjadikan
mata pelajaran agama sebagai sebuah keterampilan (Life skill) peserta didik di dalam mengaplikasikannya dalam
bentuk akhlakhul karimah (budi pekerti yang baik), yaitu :[20]
a. Kecakapan Hidup (life
skill) yang terdiri dari kecakapan (keterampilan) personal, kecakapan
sosial, kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional untuk bekerja atau
usaha mandiri. Prinsip ini memaknai, bahwa mata pelajaran dipahami sebagai alat
dan bukan sebagai tujuan.
b. Keterampilan sikap (afektif), yang terdiri dari
dua aspek. Pertama sikap yang berkenaan
dengan nilai, moral, tata
susila, baik buruk, dan sebagainya.
Kedua harus menjadi dasar
pengembangan standar kompetensi pendidikan agama Islam dan menjadi
acuan implementasi kurikulum
pendidikan agama Islam dalam proses
pembelajarannya.
Secara umum ada tiga macam life skill:
1. General life skill (GLS) atau kecakapan hidup umum yang
mencangkup kesadaran diri atau
kecakapan personal (personal skill) dan kecakapan sosial (social skill). Pendidikan sekolah umum tingkat
dasar difokuskan pada kecakapan ini,
hal ini didasarkan atas prinsip bahwa kecakapan hidup umum merupakan fondasi kecakapan hidup
yang akan diperlukan untuk mempelajari
kecakapan hidup berikutnya dan bahkan untuk terjun dalam kehidupan sehari-hari.
2. Vocational skill (kecakapan vokasional) merupakan
kecakapan kejujuran. Kecakapan ini
dapat memantapkan kecakapan hidup umum, dikembangkan pada sekolah kejujuran atau keterampilan tingkat menengah
3. Academic skill
(kecakapan akademik) pendidikan di
sekolah tingkat menengah difokuskan untuk mengembangkan kecakapan ini
dan juga memantapkan kecakapan hidup
umum, walaupun sebenarnya di sekolah
tingkat dasar, tahap awal kecakapan akademik sudah dapat mulai dikembangkan.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Sekolah Dasar (SD), sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
telah terjadi proses pengembangan kecakapan General Life skill,
vocational skill dan academic skill, dengan fokus dengan jenjang masing-masing. Proses pengembangan kecakapan ini
perlu menjadi pertimbangan dalam
pengembangan standar kompetensi Pendidikan Agama Islam (PAI).[21]
Demikianlah,
standar kompetensi PAI yang dikembangkan
disekolah umum tidak semata-mata
untuk pengembangan ilmu pengetahuan
saja, tetapi yang lebih penting adalah
untuk diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari melalui kecakapan hidup akhlakul karimah (budi pekerti).
d. Karakteristik Pendidikan Agama Pada Sekolah Umum Paradigma
Baru (Amanat UU Sisdiknas)
Dalam
semua regulasi perundang-undangan
tentang pendidikan yang diberlakukan di Indonesia, pendidikan agama menempati
posisi yang strategis dan sangat penting sehingga kedudukan (posisi) pendidikan
agama di sekolah semakin kuat dan jelas sesuai dengan amanat Undang-Undang
Sisdiknas No. 2 Tahun 1989 dan Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah
(PP) lainnya.
Peran
dan fungsi pendidikan agama di sekolah
umum dalam konteks mata pelajaran secara historis maupun fungsional mempunyai peran dan tanggung jawab besar terhadap kecakapan hidup
(life skill) peserta didik
dikehidupan sehari-harinya, karena
setiap mata pelajaran memiliki karakteristik (ciri khas) tertentu yang dapat
membedakan dengan mata pelajaran lainnya,
tidak terkecuali mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam di sekolah umum juga memiliki
karakteristik dalam rangka untuk
mencapai tujuan kecakapan hidup
peserta didik dalam lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakatnya.[22]
Adapun
karakteristik paradigma baru pendidikan agama di sekolah umum berupa:
a. Pendidikan agama untuk terbentuknya peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi pekerti yang luhur (berakhlak mulia) serta memiliki pengetahuan
tentang ajaran pokok agama Islam
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
b. Pendidikan agama Islam merupakan rumpun
mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok
yang terdapat dalam agama Islam
sebagai sebuah program pembelajaran
yang diarahkan untuk menjaga akidah dan ketaqwaan peserta didik,
menjadi landasan untuk lebih
rajin mempelajari ilmu-ilmu lain yang
diajarkan di sekolah, mendorong peserta didik untuk kritis, kreatif, dan inofatif, serta menjadi landasan
prilaku dalam kehidupan sehari-harinya
di masyarakat.
c. Pembelajaran pendidikan agama Islam tidak
hanya menekankan penguasaan kompetensi
kognitif saja tetapi juga
afektif dan psikomotornya berupa kecakapan hidup umum (General We skill) yang mencakup
kecakapan personal dan kecakapan sosial
d. Output program pembelajaran pendidikan agama Islam paradigma baru di sekolah
umum adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki akhlak mulia (budi pekerti), hal ini dikarenakan bahwa pendidikan akhlak (budi pekerti) adalah jiwa pendidikan dalam Islam, sehingga pencapaian akhlak mulia adalah tujuan sebenarnya dan pendidikan.[23]
Yang harus menjadi perhatian kita
bersama adalah, bahwa pencapaian akhlak mulia justru mengalami kesulitan jika hanya dianggap
menjadi tanggung jawab mata pelajaran pendidikan agama di sekolah-sekolah umum saja, bukan menjadi tanggung jawab semua pihak termasuk mata pelajaran non pendidikan agama dan
guru-guru yang mengajarkannya. Ini berarti kalaulah akidah akhlak itu
tampak menjadi muatan mata pelajaran pendidikan agama, yang
mengandung pendidikan iman dan moral maka mata pelajaran lainnya juga perlu
mengandung muatan pendidikan akhlak
(budi pekerti).
Lebih dari pada itu, semua guru harus
memperhatikan akhlak peserta didik dan
berupaya menanamkannya pada setiap
proses pembelajaran. Jadi pencapaian
akhlakul karimah (mulia)
tidak cukup hanya melalui mata pelajaran pendidikan agama akan tetapi
lebih dari pada itu.
C.
Penutup
Sejak diundangkannya
UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003, maka kedudukan
pendidikan agama baik secara umum
maupun khusus (Islam) semakin
kuat keberadaannya di sekolah-sekolah umum.
Paradigma baru
pendidikan agama di sekolah umum sebagai mata pelajaran kecakapan hidup umum (general life skill)
diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
mendorong kreatifitas, mandiri dan motivasi hidup sehingga dapat menumbuhkan
sikap kritis, inovatif, dan dinamis dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah
lingkungan keluarga serta
masyarakat madani dan era globalisasi
saat ini, dan yang lebih penting adalah
bagaimana dapat membangun sikap mental
peserta didik untuk berakhlak
mulia, jujur, amanah, disiplin dan bertanggung jawab dalam mengaplikasikan pengetahuan pendidik agama tersebut dikehidupan sehari-hari peserta didik. Hal ini dapat dicermati dari isi undang-undang Sisdiknas dalam
bentuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2007 Bab II Pasal 5, 6 dan
7.
Pencapaian akhlakul
karimah (budi pekerti yang baik)
melalui mata pelajaran agama (pendidikan
agama) di sekolah umum bukan
hanya tanggung jawab mata pelajaran agama itu
sendiri, akan tetapi juga menjadi tanggung
jawab mata pelajaran non
pendidikan agama dan guru-guru yang mengajarkannya harus berupaya menanamkannya
dalam setiap proses pembelajaran, sehingga output program pembelajaran pendidikan agama Islam (paradigma baru)
di sekolah umum adalah terbentuknya kompetensi budi pekerti peserta didik yang
baik, pada ranah kognitif,
afektif, dan psikomotoriknya.
afektif, dan psikomotoriknya.
DAFTAR BACAAN
Daulay, Haidar
Putra. Dinamika Pendidikan Islam, cet.
I (Jakarta: CV.
Pustaka Setia, 2004)
___________, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, cet. I, (Jakarta: Kencana, 2004)
___________, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaharuan
Pendidikan Islam di Indonesia, cet. I (Jakarta: Kencana, 2007)
Depag RI
Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum, Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Sekolah
Umum/Madrasah, (Jakarta:
2003)
___________, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, Paradigma
Baru (Jakarta: 2005)
___________, Kumpulan Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah
RI tentang
Pendidikan, (Jakarta: 2007)
Pendidikan, (Jakarta: 2007)
Zuhairmi. Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Jakarta: 2003)
Faisal Jusuf Amir,
Reorientasi Pendidikan Islam, cet.
I, (Jakarta: Gema Insani, 1995)
Sukamto, Toeti, Perancangan dan Pengembangan Sistem Instruksional,
cet. I (Jakarta: CV. Intermedia, 1993)
ABSTRAK
Arah kebijakan politik pendidikan
agama pada sekolah umum dan sekolah
umum bercirikan Islam secara umum dapat diamati dari sisi dan tujuan Undang
Undang yang pernah ada di Indonesia. Kebijakan politik pendidikan ini dimulai dari
Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1950, peraturan Menteri Agama RI tanggal 16 Juli
1951, Undang-Undang RI. No. 2 tahun 1954, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003, PP No. 28 Tahun
1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah dan yang terakhir PP No.55 Tahun 2007 sampai sekarang.
Tujuan esensial dan implementasi arah kebijakan politik pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan sekolah-sekolah bercirikan Islam ini adalah, untuk memberikan pengetahuan keagamaan, agar selalu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia yang dipraktekkan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tingkat umur, secara kritis, kreatif, inovatif, dinamis dan berwawasan luas dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa dan beragama.
umum bercirikan Islam secara umum dapat diamati dari sisi dan tujuan Undang
Undang yang pernah ada di Indonesia. Kebijakan politik pendidikan ini dimulai dari
Undang-Undang RI. No. 4 Tahun 1950, peraturan Menteri Agama RI tanggal 16 Juli
1951, Undang-Undang RI. No. 2 tahun 1954, Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) No. 2 Tahun 1989 dan No. 20 Tahun 2003, PP No. 28 Tahun
1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan
Menengah dan yang terakhir PP No.55 Tahun 2007 sampai sekarang.
Tujuan esensial dan implementasi arah kebijakan politik pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan sekolah-sekolah bercirikan Islam ini adalah, untuk memberikan pengetahuan keagamaan, agar selalu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia yang dipraktekkan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-harinya sesuai dengan tingkat umur, secara kritis, kreatif, inovatif, dinamis dan berwawasan luas dalam rangka mencerdaskan kehidupan berbangsa dan beragama.
|
[1]
Haidar Putra Daulay, Sejarah dan
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, cet. I (Jakarta: Kencana, 2007), h. 84
[2] Ibid, h. 89-90
[3]
Direktorat Jendral Pendidikan Islam Depag RI, Kumpulan Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah
RI tentang Pendidikan, (Jakarta, 2007), h. 24
[4]
Zuhairini, dkk, Metodik Khusus Pendidikan
Islam, (Jakarta,
2003), h. 27
[5]
Dauly, Sejarah Pertumbuhan …, h. 75
[6] Depag RI, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional,
Paradigma Baru (Jakarta,
2005), h. 40
[7] Ibid,
[8] Ibid, h. 41
[9] Ibid, h. 42
[10]
Haidar Putra Dauly, Pendidikan Dalam
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Cet. I, Jakarta, Kencana, 2004), h. 37
[11] Depag RI,
Pendidikan Islam …, h. 57-58
[12]
Teoti Sukamto, Perancangan dan
Pengembangan Instruksional, Cet. I (Jakarta,
CV. Inter Media, 1993), h. 12-13
[13] Depag RI. Kumpulan Undang-Undang……., h. 229
[14] Ibid. h. 233
[15]
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan
Islam, cet. I (Jakarta,
CV. Pustaka Setia, 2004), h. 146
[16]
Depag RI Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, Pedoman Umum Pendidikan Agama Islam Sekolah
Umum/Madrasah, (Jakarta,
2003), h. 6
[17]
Jusuf Amir Faisal, Reorientasi Pendidikan
Islam, cet. I (Jakarta, Gema Insani, 1995), h. 18
[18] Ibid.,
[19] Ibid., h. 19
[20] Depag RI,
Pedoman Umum….., h. 8
[21] Ibid.,
[22] Ibid., h. 3-4
[23] Ibid., h. 5
Langganan:
Postingan (Atom)